image1 image2 image3

HELLO I'M BRAMASTIO BEAVISTO|WELCOME TO MY PERSONAL BLOG|

Manusia dan Keadilan

Sebagai warga negara, rakyat miskin mempunyai hak dasar yang melekat pada dirinya untuk mendapatkan pemeliharaan hidup oleh negara, termasuk memelihara kesehatan, sebagaimana dijamin dalam konstitusi dasar negara, UUD `45, Pasal 28 H.
Sebagai konsekuensinya, tentu negara harus bertanggung jawab melindungi, menjaga, dan memelihara kesehatan seluruh warganya tanpa kecuali dan khususnya warga negara yang hidup dalam deraian kemiskinan dan selalu rentan terhadap aneka jenis penyakit.
Mereka yang hidup dalam kecukupan tentu akan memelihara kesehatannya melalui asupan gizi yang berkecukupan dengan sistem pemeliharaan kesehatan yang juga memadai. Namun, bagi si miskin, persoalan pemeliharaan kesehatan, hingga keluar dari idapan penyakit akan menjadi lain, di tengah ketidakmampuan mereka terhadap akses pelayanan kesehatan serta himpitan beban ekonomi.
Di sinilah negara harus bertindak secara tepat sasaran untuk meringankan beban penderitaan rakyat miskin. Baik pemberdayaan secara ekonomi, hingga meringankan beban warga negara miskin, yang juga terhimpit penyakit akibat kemiskinan itu sendiri. Harus diakui, program untuk rakyat miskin, baik bersifat crash atau sustain (berkesinambungan), kerap mengalami persoalan implementasi di lapangan dan berakhir pada salah sasaran, pemborosan hingga penyelewengan anggaran. Termasuk banyaknya penikmat fasilitas rakyat miskin oleh mereka yang tidak miskin karena lemahnya pengawasan dan rendahnya kesadaran publik akan haknya.
Persoalan klasik dan mendasar kerap pada patokan (benchmark) ketersediaan dan kesahihan data/jumlah rakyat miskin yang digunakan instansi pemerintah, dalam mengeksekusi aneka program tersebut. Padahal, anggaran untuk program-program sejenis bisa menghabiskan puluhan triliun rupiah. Namun, dalam pelaksanaannya, koordinasi, verifikasi, hingga pemutakhiran data rakyat miskin, yang seyogianya jadi pijakan dasar program, seringkali dianggap enteng oleh instansi pelaksana, mulai dari tingkat daerah hingga jajaran pusat atau tingkat kementerian.
Namun, melihat kekacauan dari pendataan, yang akhirnya berakibat pada amburadul dan tumpang-tindihnya pelaksanaan, membuktikan kurangnya awareness dari pelaksana atas data yang diikuti indikator-indikator dan kriteria yang digunakan dalam menentukan apakah seseorang masuk kategori miskin atau tidak. Seharusnya, pelaksana kebijakan lebih tanggap dan peduli pada persoalan data melalui instrumen perhitungan dengan metode memadai secara ilmiah dan akurat agar bisa menjadi pedoman dalam mengimplementasikan setiap program termasuk kebijakan politik anggaran. Belum lagi realitas sosial menunjukkan, kemiskinan tidak bisa sekadar diukur dengan kacamata statistik belaka, tetapi berbagai faktor dan indikasi di lapangan harus menjadi pertimbangan, termasuk faktor geografi tempat rakyat miskin berada.
Persoalan kemiskinan dan kesehatan merupakan masalah besar yang dihadapi Indonesia dan juga dunia. Kita hanya mengingatkan agar Presiden Yudhoyono tidak menganggap enteng realitas kemiskinan di republik ini. Sebagai presiden yang juga dipilih langsung rakyat miskin, saatnya Yudhoyono menjamin adanya perlakuan memadai dan berdaya guna bagi kelangsungan kesehatan rakyatnya.
Kemiskinan dan kesehatan, dua hal yang tidak terpisahkan. Musuh terbesar dari kesehatan dalam membangun dunia adalah kemiskinan itu sendiri. Seperti diungkapkan Kofi Annan dalam pidatonya sebagai Sekjen PBB di World Health Assembly 2001, The biggest enemy of health in the developing world, is poverty. Pertanyaannya, bagaimana menangani nasib rakyat miskin, kalau jumlahnya saja masih simpang-siur, bahkan pengelolaannya berorientasi proyek dan lupa akan substansi?

sumber: http://susatiobudiman.wordpress.com/nasib-kesehatan-rakyat-miskin-di-indonesia/

Share this:

CONVERSATION

0 comments:

Post a Comment

Pages