Sastra lahir dari
proses kegelisahan sastrawan atas kondisi masyarakat dan terjadinya ketegangan
atas kebudayaannya. Sastra sering juga ditempatkan sebagai potret sosial. Ia
mengungkapkan kondisi masyarakat pada masa tertentu. Ia dipandang juga memancarkan
semangat zamannya. Dari sanalah, sastra memberi pemahaman yang khas atas
situasi sosial, kepercayaan, ideologi, dan harapan-harapan individu yang
sesungguhnya merepresentasikan kebudayaan bangsanya. Dalam konteks itulah,
mempelajari sastra suatu bangsa pada hakikatnya tidak berbeda dengan usaha
memahami kebudayaan bangsa yang bersangkutan. Dengan perkataan lain,
mempelajari kebudayaan suatu bangsa tidak akan lengkap jika keberadaan
kesusastraan bangsa yang bersangkutan diabaikan. Di situlah kedudukan
kesusastraan dalam kebudayaan sebuah bangsa. Ia tidak hanya merepresentasikan
kondisi sosial yang terjadi pada zaman tertentu, tetapi juga menyerupai
pantulan perkembangan pemikiran dan kebudayaan masyarakatnya.
Kesusastraan Indonesia
merupakan potret sosial budaya masyarakat Indonesia. Ia berkaitan dengan
perjalanan sejarah. Ia merupakan refleksi kegelisahan kultural dan sekaligus
juga merupakan manifestasi pemikiran bangsa Indonesia. Periksa saja perjalanan
kesusastraan Indonesia sejak kelahirannya sampai kini.
Pada zaman Balai
Pustaka (1920—1933), misalnya, kita melihat, karya-karya sastra yang muncul
pada saat itu masih menunjukkan keterikatakannya pada problem kultural ketika
bangsa Indonesiaberhadapan dengan kebudayaan Barat. Tarik-menarik antara
tradisi dan pengaruh Barat dimanifestasikan dalam bentuk tokoh-tokoh rekaan
yang mewakili golongan tua (tradisional) dan golongan muda (modern).
Tarik-menarik itu juga tampak dari tema-tema yang diangkat dalam karya sastra
pada masa itu. Problem adat yang berkaitan dengan masalah perkawinan dan
kedudukan perempuan hampir mendominasi novel Indonesia pada zaman
itu. (sumber:
http://anak-kombasta.blogspot.com/2013/02/apa-itu-sastra.html)
Karya sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang
berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu
bentuk gambaran kehidupan, yang dapat membangkitkan pesona dengan alat bahasa
dan dilukiskan dalam bentuk tulisan. Jakop Sumardjo dalam bukunya yang berjudul
"Apresiasi Kesusastraan" mengatakan bahwa karya sastra adalah sebuah
usaha merekam isi jiwa sastrawannya. Rekaman ini menggunakan alat bahasa.
Sastra adalah bentuk rekaman dengan bahasa yang akan disampaikan kepada orang
lain.
Pada dasarnya, karya sastra sangat bermanfaat bagi
kehidupan, karena karya sastra dapat memberi kesadaran kepada pembaca tentang
kebenaran-kebenaran hidup, walaupun dilukiskan dalam bentuk fiksi. Karya sastra
dapat memberikan kegembiraan dan kepuasan batin. Hiburan ini adalah jenis
hiburan intelektual dan spiritual. Karya sastra juga dapat dijadikan sebagai
pengalaman untuk berkarya, karena siapa pun bisa menuangkan isi hati dan
pikiran dalam sebuah tulisan yang bernilai seni.
Pembagian genre sastra imajinatif
dapat dirangkumkan dalam bentuk puisi, fiksi atau prosa naratif, dan drama.
Penjelasan tentang ketiga karya sastra ini akan kita kupas secara terperinci.
1. Puisi
Puisi adalah rangkaian kata yang
sangat padu. Oleh karena itu, kejelasan sebuah puisi sangat bergantung pada
ketepatan penggunaan kata serta kepaduan yang membentuknya.
Contoh puisi:
MENANGISLAH
SOBAT..
Oleh Maulida
Tak bisa ungkap dengan kata apapun
Ini memang sangat membosankan
Ini begitu melelahkan
Bahkan, ini sangat menjengkelkan
Tubuh seakan beku dalam bongkahan es
Membeku tidak tahu kapan akan mencair
Yaa… itu benar sobat
Itu semua seperti sorot lampu panggung tanpa penonton
Menerangi tubuh di dalam kegelapan
Terdiam bisu tanpa senyum dan air mata
Ini sangat menyedihkan..
Namun.. ingatlah sobat..
Kau tidak sendiri
Kau tidak berdiri sendiri di kegelapan itu
Teteskanlah air matamu jika hatimu merasa terisak
Berteriaklah sepuasmu jika hatimu memanas
Karena itu lebih baik ku lihat
Dari pada kau terdiam kaku di bawah sorot lampu itu
Bagai seorang tokoh tanpa dialog.
Oleh Maulida
Tak bisa ungkap dengan kata apapun
Ini memang sangat membosankan
Ini begitu melelahkan
Bahkan, ini sangat menjengkelkan
Tubuh seakan beku dalam bongkahan es
Membeku tidak tahu kapan akan mencair
Yaa… itu benar sobat
Itu semua seperti sorot lampu panggung tanpa penonton
Menerangi tubuh di dalam kegelapan
Terdiam bisu tanpa senyum dan air mata
Ini sangat menyedihkan..
Namun.. ingatlah sobat..
Kau tidak sendiri
Kau tidak berdiri sendiri di kegelapan itu
Teteskanlah air matamu jika hatimu merasa terisak
Berteriaklah sepuasmu jika hatimu memanas
Karena itu lebih baik ku lihat
Dari pada kau terdiam kaku di bawah sorot lampu itu
Bagai seorang tokoh tanpa dialog.
(sumber:
http://www.lokerpuisi.web.id/2012/05/kumpulan-puisi-persahabatan-terbaru.html)
2. Fiksi atau prosa naratif.
Fiksi atau prosa naratif adalah
karangan yang bersifat menjelaskan secara terurai mengenai suatu masalah atau
hal atau peristiwa dan lain-lain. Fiksi pada dasarnya terbagi menjadi novel,
roman, dan cerita pendek.
Suroto dalam bukunya yang berjudul
"Apresiasi Sastra Indonesia" menjelaskan secara terperinci tentang
pengertian tiga genre yang termasuk dalam prosa naratif berikut ini.
a. Novel
Novel ialah suatu karangan prosa
yang bersifat cerita, yang menceritakan suatu kejadian yang luar biasa dari
kehidupan orang-orang (tokoh cerita). Dikatakan kejadian yang luar biasa karena
dari kejadian ini lahir suatu konflik, suatu pertikaian, yang mengalihkan
jurusan nasib para tokoh. Novel hanya menceritakan salah satu segi kehidupan
sang tokoh yang benar-benar istimewa, yang mengakibatkan terjadinya perubahan
nasib.
b. Roman
Istilah roman berasal dari genre
romance dari Abad Pertengahan, yang merupakan cerita panjang tentang
kepahlawanan dan percintaan. Istilah roman berkembang di Jerman, Belanda,
Perancis, dan bagian-bagian Eropa Daratan yang lain. Ada sedikit perbedaan
antara roman dan novel, yakni bahwa bentuk novel lebih pendek dibanding dengan
roman, tetapi ukuran luasnya unsur cerita hampir sama.
c. Cerita pendek.
Cerita atau cerita pendek adalah
suatu karangan prosa yang berisi cerita sebuah peristiwa kehidupan manusia --
pelaku/tokoh dalam cerita tersebut. Dalam karangan tersebut terdapat pula
peristiwa lain tetapi peristiwa tersebut tidak dikembangkan, sehingga
kehadirannya hanya sekadar sebagai pendukung peristiwa pokok agar cerita tampak
wajar. Ini berarti cerita hanya dikonsentrasikan pada suatu peristiwa yang
menjadi pokok ceritanya.
3. Drama
Genre sastra imajinatif yang ketiga
adalah drama. Drama adalah karya sastra yang mengungkapkan cerita melalui
dialog-dialog para tokohnya. Drama sebagai karya sastra sebenarnya hanya
bersifat sementara, sebab naskah drama ditulis sebagai dasar untuk dipentaskan.
Dengan demikian, tujuan drama bukanlah untuk dibaca seperti orang membaca novel
atau puisi. Drama yang sebenarnya adalah kalau naskah sastra tadi telah
dipentaskan. Tetapi bagaimanapun, naskah tertulis drama selalu dimasukkan
sebagai karya sastra. (sumber: http://www.pelitaku.sabda.org/pemahaman_tentang_karya_sastra)
Kata prosa diambil dari
bahasa Inggris, prose. Kata ini sebenarnya menyaran pada pengertian yang lebih
luas, tidak hanya mencakup pada tulisan yang digolongkan sebagai karya sastra,
tapi juga karya non fiksi, seperti artikel, esai, dan sebagainya. Agar tidak
terjadi kekeliruan, pengertian prosa ini dibatasi pada prosa sebagai genre
sastra. Dalam pengertian kesastraan, prosa sering diistilahkan dengan fiksi
(fiction), teks naratif (narrative text) atau wacana naratif (narrative
discourse). Prosa yang sejajar dengan istilah fiksi (arti rekaan) dapat
diartikan : karya naratif yang menceritakan sesuatu yang bersifat rekaan, tidak
sungguh-sungguh terjadi di dunia nyata. Tokoh, peristiwa dan latar dalam fiksi
bersifat imajiner. Hal ini berbeda dengan karya nonfiksi. Dalam nonfiksi tokoh,
peristiwa, dan latar bersifat faktual atau dapat dibuktikan di dunia nyata
(secara empiris). (sumber: http://adesakulelaki.blogspot.com/2012/07/pengertian-dan-jenis-jenis-prosa-fiksi.html)
Pada
masa transisi dari sastra lama ke sastra modern, jika itu ada, dibatasi dan
ditandai pada penghormatan akan nama pengarang yang sebelumnya anonim, media
publikasi, bentuk pendidikan dan pengetahuan barat, dan pengaruh karya sastra
barat. Sebagai akibat, sastra lama kemudian dijadikan artifak, yang dikaji
melalui filologi atau arkeologi. Para peneliti sastra, khususnya sejarah
sastra, menjadi asing dengan tradisi yang dimiliki oleh sejarah panjang sastra
di Indonesia, atau nusantara ini. Hal yang lazim adalah para peneliti sastra
menggunakan hasil kajian yang terakhir itu untuk menunjang kerja mereka. Kita
tidak pernah betul-betul bersinggungan langsung dengan karya-karya lama
kita.Sementara waktu terus berjalan, jarak ketertinggalan kita dengan persoalan
yang serius ini mungkin semakin panjang. Karya sastra Indonesia yang modern dan
kontemporer terus lahir, yang belum sepenuhnya mampu dibicarakan. Di lain sisi,
sastra lama kita juga semakin jauh dan asing. Kegundahan yang menyelimuti
kajian sastra Indonesia, terutama para penelitinya, tampaknya tergambar dalam
situasi seperti ini. (sumber: http://sihombing92.blogspot.com/2012/05/artikel-sastra-indonesia.html)
0 comments:
Post a Comment